Pengolahan Limbah Tahu-Tempe Melalui Proses
Biofilter Anaerob Dan Aerob
Tahu dan tempe merupakan makanan
yang digemari masyarakat, baik masyarakat kalangan bawah hingga atas.
Keberadaannya sudah lama diakui sebagai makanan yang sehat, bergizi dan
harganya murah. Hampir ditiap kota di Indonesia dijumpai industri tahu dan tempe.
umumnya industri tahu dan tempe termasuk ke dalam industri kecil yang dikelola
oleh rakyat dan beberapa di antaranya masuk dalam wadah Koperasi Pengusaha Tahu
dan Tempe (KOPTI).
Proses pembuatan tahu dan tempe masih sangat tradisional dan banyak memakai
tenaga manusia. Bahan baku utama yang digunakan adalah kedelai (Glycine spp).
Konsumsi kedelai Indonesia pada Tahun 1995 telah mencapai 2.287.317 Ton (Sri
Utami, 1997). Sarwono (1989) menyatakan bahwa lebih dari separuh konsumsi
kedelai Indonesia dipergunakan untuk diolah menjadi tempe dan tahu. Shurtleff
dan Aoyagi (1979) memperkirakan jumlah pengusaha tahu di Indonesia sekitar
10.000 buah, yang sebagian besar masih berskala rumah tangga, dan terutama
terpusat di Pulau Jawa, sebagai bandingan di Jepang sekitar 38 000 buah, di
Korea 1 470 buah, Taiwan 2 500 buah dan Cina 158 000 buah.
Air banyak digunakan sebagai bahan pencuci dan merebus kedelai untuk proses
produksinya. Akibat dari besarnya pemakaian air pada proses pembuatan tahu dan
tempe, limbah yang dihasilkan juga cukup besar. Sebagai contoh limbah industri
tahu tempe di Semanan, Jakarta Barat kandungan BOD 5 mencapai 1 324 mg/l, COD
6698 mg/l, NH 4 84,4 mg/l, nitrat 1,76 mg/l dan nitrit 0,17 mg/l (Prakarindo
Buana, 1996). Jika ditinjau dari Kep-03/MENKLH/11/1991 tentang baku mutu limbah
cair, maka industri tahu dan tempe memerlukan pengolahan limbah.
Pada saat ini sebagian besar industri tahu tempe masih merupakan industri kecil
skala rumah tangga yang tidak dilengkapi dengan unit pengolah air limbah,
sedangkan industri tahu dan tempe yang dikelola koperasi beberapa diantaranya
telah memiliki unit pengolah limbah. Unit pengolah limbah yang ada umumnya
menggunakan sistem anaerobik dengan efisiensi pengolahan 60-90%. Dengan sistem
pengolah limbah yang ada, maka limbah yang dibuang ke peraian kadar zat
organiknya (BOD) masih terlampau tinggi yakni sekitar 400 – 1 400 mg/l. Untuk
itu perlu dilakukan proses pengolahan lanjut agar kandungan zat organik di
dalan air limbah memenuhi standar air buangan yang boleh dibuang ke saluran
umum.
Industri tahu dan tempe
merupakan industri kecil yang banyak tersebar di kota-kota besar dan kecil.
Tempe dan tahu merupakan makanan yang digemari oleh banyak orang. Akibat dari
banyaknya industri tahu dan tempe, maka limbah hasil proses pengolahan banyak
membawa dampak terhadap lingkungan. Limbah dari pengolahan tahu dan tempe
mempunyai kadar BOD sekitar 5.000 - 10.000 mg/l, COD 7.000 - 12.000 mg/l.
Besarnya beban pencemaran yang ditimbulkan menyebabkan gangguan yang cukup
serius terutama untuk perairan disekitar industri tahu dan tempe. Teknologi
pengolahan limbah tahu tempe yang ada saat ini pada umumnya berupa pengolahan
limbah sistem anaerob. Dengan proses biologis anaerob, efisiensi pengolahan
hanya sekitar 70-80 %, sehingga air lahannya masih mengandung kadar polutan
organik cukup tinggi, serta bau yang ditimbulkan dari sistem anaerob dan
tingginya kadar fosfat merupakan masalah yang belum dapat diatasi.
Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan cara kombinasi proses
biologis anaerob-aerob yakni proses penguraian anaerob dan diikuti dengan
proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter anaerob-aerob. Dengan
kombinasi proses tersebut diharapkan konsentrasi COD dalan air olahan yang
dihasilkan turun menjadi 60 ppm, sehingga jika dibuang tidaklagi mencemari
lingkungan sekitarnya.
TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH TAHU-TEMPE DENGAN
SISTEM KOMBINASI BIOFILTER ANAEROB-AEROB
Salah satu cara untuk mengatasi masalah air limbah industri tahu-tempe tersebut
adalah dengan kombinasi proses pengolahan biologis anaerob dan aerob. Secara
umum proses pengolahannya dibagi menjadi dua tahap yakni pertama proses
penguraian anaerob (Anaerobic digesting), dan yang ke dua proses pengolahan
lanjut dengan sistem biofilter anaerob-aerob. Secara garis besar proses
pengolahan air limbah industri tahu dan tempe ditunjukkan seperti pada Gambar
4.
Air limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu-tempe kumpulkan melalui
saluran air limbah, kemudian dilairkan ke bak kontrol untuk memisahkan kotoran
padat. Selanjutnya, sambil di bubuhi dengan larutan kapur atau larutan NaOH air
limbah dialirkan ke bak pengurai anaerob. Di dalam bak pengurai anaerob
tersebut polutan organik yang ada di dalam air limbah akan diuraikan oleh
mikroorganisme secara anaerob, menghasilkan gas methan yang dapat digunakan
sebagai bahan bakar. Dengan proses tahap pertama konsentrasi COD dalam air
limbah dapat diturukkan sampai kira-kira 600 ppm (efisiensi pengolahan 90 %).
Air olahan tahap awal ini selanjutnya diolah dengan proses pengolahan lanjut
dengan sistem biofilter aerob.
Keunggulan proses anaerobik dibandingkan proses aerobik adalah sebagai berikut
(Lettingan et al, 1980; Sahm, 1984; Sterritt dan Lester, 1988; Switzenbaum,
1983) :
Proses anaerobik dapat segera menggunakan CO2 yang
ada sebagai penerima elektron. Proses tersebut tidak membutuhkan oksigen dan
pemakaian oksigen dalam proses penguraian limbah akan menambah biaya
pengoperasian. Penguraian anaerobik menghasilkan lebih sedikit lumpur (3-20
kali lebih sedikit dari pada proses aerobik), energi yang dihasilkan bakteri
anaerobik relatif rendah. Sebagian besar energi didapat dari pemecahan substrat
yang ditemukan dalam hasil akhir, yaitu CH4. Dibawah kondisi aerobik
50% dari karbon organik dirubah menjadi biomassa, sedangkan dalam proses
anaerobik hanya 5% dari karbon organik yang dirubah menjadi biomassa. Dengan
proses anaerobik satu metrik ton COD tinggal 20 - 150 kg biomassa, sedangkan
proses aerobik masih tersisa 400 - 600 kg biomassa (Speece, 1983; Switzenbaum,
1983). Proses anaerobik menghasilkan gas yang bermanfaat, metan. Gas metan
mengandung sekitar 90% energi dengan nilai kalori 9.000 kkal/m3, dan
dapat dibakar ditempat proses penguraian atau untuk menghasilkan listrik.
Sedikit energi terbuang menjadi panas (3-5%). Pruduksi metan menurunkan BOD
dalam Penguraian lumpur limbah.
Energi untuk penguraian limbah kecil, Penguraian
anaerobik cocok untuk limbah industri dengan konsentrasi polutan organik yang
tinggi. Memungkinkan untuk diterapkan pada proses Penguraian limbah dalam
jumlah besar.
Sistem anaerobik dapat membiodegradasi senyawa
xenobiotik (seperti chlorinated aliphatic hydrocarbons seperti
trichlorethylene, trihalo-methanes) dan senyawa alami recalcitrant seperti
liGnin.
Penguraian satu tahap
Penguraian anaerobik membutuhkan tangki fermentasi yang besar, memiliki
pencampur mekanik yang besar, pemanasan, pengumpul gas, penambahan lumpur, dan
keluaran supernatan (Metcalf dan Eddy, 1991). Penguraian lumpur dan pengendapan
terjadi secara simultan dalam tangki. Stratifikasi lumpur dan membentuk lapisan
berikut dari bawah ke atas : lumpur hasil penguraian, lumpur pengurai aktif,
lapisan supernatan (jernih), lapisan buih (skum), dan ruang gas. Hal ini secara
umum ditunjukkan seperti pada gambar 5.
Penguraian dua tahap
Proses ini membutuhkan dua tangki pengurai (reaktor) yakni satu tangki
berfungsi mencampur secara terus-menerus dan pemanasan untuk stabilisasi
lumpur, sedangkan tangki yang satu lagi untuk pemekatan dan penyimpanan sebelum
dibuang ke pembuangan. Proses ini dapat menguraikan senyawa organik dalam
jumlah yang lebih besar dan lebih cepat. Secara sederhana proses penguraian
anaerob dua tahap dapat ditunjukkan seperti pada gambar 6.
Proses Mikrobiologi di Dalam Penguraian Anaerob
Kumpulan mikroorganisme, umumnya bakteri, terlibat dalam transformasi senyawa
komplek organik menjadi metan. Lebih jauh lagi, terdapat interaksi sinergis
antara bermacam-macam kelompok bakteri yang berperan dalam penguraian limbah.
Keseluruhan reaksi dapat digambarkan sebagai berikut (Polprasert, 1989):
Senyawa Organik ---> CH4 + CO2 +
H2 + NH3 + H2S
Meskipun beberapa jamur (fungi) dan protozoa dapat ditemukan dalam penguraian
anaerobik, bakteri bakteri tetap merupakan mikroorganisme yang paling dominan
bekerja didalam proses penguraian anaerobik. Sejumlah besar bakteri anaerobik
dan fakultatif (seperti :Bacteroides, Bifidobacterium, Clostridium,
Lactobacillus, Streptococcus) terlibat.
Terima Kasih Sumber :
http://alanpradikayudha1992.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar